Jadikan Nama Keluarga Rocky Gerung Sebagai Lelucon, Tompi DITAMPOL Warganet
Lini masa Twitter memanas sesudah Tompi, seorang penyanyi asal Aceh yang juga berprofesi sebagai dokter seorang andal bedah plastik, berkicau dengan menjadikan nama keluarga Rocky Gerung sebagai materi lelucon.
"Gerung sekarang terkenal sebagai istilah gres bermakna Asbun. Contoh kalimat 'kl ngomong dipikirin dulu jgn asal nge gerung...'," kicau Tompi yang dikenal luas sebagai pendukung Jokowi.
"Gerung sekarang terkenal sebagai istilah gres bermakna Asbun. Contoh kalimat 'kl ngomong dipikirin dulu jgn asal nge gerung...'," kicau Tompi yang dikenal luas sebagai pendukung Jokowi.
Gerung sekarang terkenal sebagai istilah gres bermakna Asbun. Contoh kalimat “ kl ngomong dipikirin dulu jgn asal nge gerung...”
Kicauan Tompi ini pribadi memicu reaksi keras warganet.
"Seorang dokter yg mestinya lebih well educated tapi bisa2nya ngatain marga keluarga orang?
Semoga seluruh orang Manado bermarga Gerung membaca ini..
Cc @rockygerung @DLGerung @RIDGEnotRITZ," kicau Rahmah Hasjim Adnan melalui akun @rahmahasjim.
"Ini ahoker ngomongnya bawa2 marga. Ada kaca?", kicau @ariefdaradjati.
"Maaf, Dok.
Gerung yaitu nama keluarga.
Tak layak untuk dijadikan materi lelucon, apalagi oleh orang sekelas Anda.
Salam..," sindir akun @wartapolitik.
"Jadi berpikir, knp kalo dah jd pendukung kotak2, otaknya tdk bisa berpikir jernih mskp ada gelar dokter nya?
Apakah virus kedunguan itu benar2 menular?
Tdk bisa berdebat, namun nomer satu kalo menghina.. Tompi.. Tompi.. 😪," balas @RomyYudi.
"Wahhh, Anda menghina MARGA itu lhoo! Tiati brow, jangan hanya alasannya yaitu ketidaksukaanmu pada seseorang, kamu menjelek2kan marga orang satu suku/sekampung/sedesa/sekota se DUNIA!
#2019GantiPresidenBaru," kicau @MRahmatM212
Sementara @unchayuanita menuliskan, "Seorang tompi saja yg dokter dikala berkembang menjadi bong akan terlihat dungu.. Lebih dungu dari yg sekedar lulusan SD 😑".
"Seorang dokter yg mestinya lebih well educated tapi bisa2nya ngatain marga keluarga orang?
Semoga seluruh orang Manado bermarga Gerung membaca ini..
Cc @rockygerung @DLGerung @RIDGEnotRITZ," kicau Rahmah Hasjim Adnan melalui akun @rahmahasjim.
"Ini ahoker ngomongnya bawa2 marga. Ada kaca?", kicau @ariefdaradjati.
"Maaf, Dok.
Gerung yaitu nama keluarga.
Tak layak untuk dijadikan materi lelucon, apalagi oleh orang sekelas Anda.
Salam..," sindir akun @wartapolitik.
"Jadi berpikir, knp kalo dah jd pendukung kotak2, otaknya tdk bisa berpikir jernih mskp ada gelar dokter nya?
Apakah virus kedunguan itu benar2 menular?
Tdk bisa berdebat, namun nomer satu kalo menghina.. Tompi.. Tompi.. 😪," balas @RomyYudi.
"Wahhh, Anda menghina MARGA itu lhoo! Tiati brow, jangan hanya alasannya yaitu ketidaksukaanmu pada seseorang, kamu menjelek2kan marga orang satu suku/sekampung/sedesa/sekota se DUNIA!
#2019GantiPresidenBaru," kicau @MRahmatM212
Sementara @unchayuanita menuliskan, "Seorang tompi saja yg dokter dikala berkembang menjadi bong akan terlihat dungu.. Lebih dungu dari yg sekedar lulusan SD 😑".
Rocky Gerung, Intelektualitas Versus Elektabilitas
Secara politik, Indonesia tahun 1998 menerima berkah sesudah gerakan reformasi melahirkan proses demokratisasi di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakan berkah alasannya yaitu secara teoritik demokrasi yaitu bentuk pemerintahan yang paling bisa mendistribusikan keadilan dan mengalokasikan kekayaan alam yang merata kepada seluruh warga bangsa tanpa terkecuali.
Berdasarkan kajian literatur ada beberapa alasan kenapa harus demokrasi. Diantaranya demokrasi menjamin setiap warga negara mempunyai kedudukan dan hak yang sama dibidang politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Kaprikornus lagi-lagi secara teoritik warga negara harus mensyukuri datangnya demokrasi yang membawa persamaan hak bagi setiap warga negara sesudah terkungkung puluhan tahun.
Persoalannya kemudian, ternyata proses demokratisasi yang sudah berlangsung 20 tahun di negeri ini belum sepenuhnya melahirkan warga negara yang konsisten mempertahankan ciri warga negara demokratis yang harus bersuara dan dilarang diam dikala melihat dan mencicipi ada ketidakadilan.
Sebagaimana kata Robert Dahl bahwa “warga negara yang diam akan menjadi racun bagi demokrasi dan menjadi berkah bagi pemerintahan diktatorial yang korup”. Rocky Gerung menyebutnya demokrasi yaitu “menggelang bukan mengangguk”. Artinya multivitamin demokrasi yaitu bunyi kritis dari warganya, khususnya kaum intelektualnya dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih.
Menuju Pemilu 2019 yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden, serta merta menguatkan polarisasi pendukung menjadi dua kubu. Fakta kemudian mengatakan polarisasi dua kubu ini semakin tanjam menukik saling menyerang dan memojokkan untuk memperebutkan elektabilitas.
Kekhawatiran pun muncul alasannya yaitu contoh serangan pendukung kedua kubu di ruang-ruang publik tidak jarang memakai narasi-narasi rendahan yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan politik, tetapi sebaliknya saling menyerang, mengejek, melecehkan, mengarah fitnah yang terkadang merampas nalar sehat.
Kalau polarisasi kedua pendukung yang semakin memanas ini dibiarkan, bisa jadi meracuni tumbuh kembangnya demokrasi yang sehat. Karena itulah, kaum intelektual yang bercirikan argumentasi nalar sehat harus bangun di tengah-tengah kedua kubu pendukung untuk meluruskan demokrasi tetap berjalan di atas rel kebenaran tanpa
Berdasarkan kajian literatur ada beberapa alasan kenapa harus demokrasi. Diantaranya demokrasi menjamin setiap warga negara mempunyai kedudukan dan hak yang sama dibidang politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Kaprikornus lagi-lagi secara teoritik warga negara harus mensyukuri datangnya demokrasi yang membawa persamaan hak bagi setiap warga negara sesudah terkungkung puluhan tahun.
Persoalannya kemudian, ternyata proses demokratisasi yang sudah berlangsung 20 tahun di negeri ini belum sepenuhnya melahirkan warga negara yang konsisten mempertahankan ciri warga negara demokratis yang harus bersuara dan dilarang diam dikala melihat dan mencicipi ada ketidakadilan.
Sebagaimana kata Robert Dahl bahwa “warga negara yang diam akan menjadi racun bagi demokrasi dan menjadi berkah bagi pemerintahan diktatorial yang korup”. Rocky Gerung menyebutnya demokrasi yaitu “menggelang bukan mengangguk”. Artinya multivitamin demokrasi yaitu bunyi kritis dari warganya, khususnya kaum intelektualnya dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang bersih.
Menuju Pemilu 2019 yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden, serta merta menguatkan polarisasi pendukung menjadi dua kubu. Fakta kemudian mengatakan polarisasi dua kubu ini semakin tanjam menukik saling menyerang dan memojokkan untuk memperebutkan elektabilitas.
Kekhawatiran pun muncul alasannya yaitu contoh serangan pendukung kedua kubu di ruang-ruang publik tidak jarang memakai narasi-narasi rendahan yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan politik, tetapi sebaliknya saling menyerang, mengejek, melecehkan, mengarah fitnah yang terkadang merampas nalar sehat.
Kalau polarisasi kedua pendukung yang semakin memanas ini dibiarkan, bisa jadi meracuni tumbuh kembangnya demokrasi yang sehat. Karena itulah, kaum intelektual yang bercirikan argumentasi nalar sehat harus bangun di tengah-tengah kedua kubu pendukung untuk meluruskan demokrasi tetap berjalan di atas rel kebenaran tanpa
di rusak oleh narasi-narasi rendahan mengarah ke fitnah demi meraih elektabilitas.
Seorang Rocky Gerung menyadari benar bahwa yang paling membahayakan masa depan suatu bangsa yaitu dikala orang-orang terdidiknya larut dalam pusaran propaganda politik demi elektabilitas atas nama bonus jabatan, walau harus mengingkari nilai-nilai intelektualitasnya. Menurutnya negara ini didirikan untuk menumbuhkan intelektualitas dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun suasana pemilihan presiden yang tinggal dua bulan ini mengatakan kecenderungan intelektualitas dikepung dan dikelilingi elektabilitas. Atas nama elektabikitas, gerakan intelektualitas yang memakai narasi-narasi indah mencerdaskan terancam kembali dikungkung jika tidak senapas dengan penguasa. Kebebasan beropini kembali menerima lampu kuning dari UU ITE, mengingatkan jaman Orde Baru yang melumpuhkan gerakan intelektualitas belum dewasa bangsa dengan senjata UU Subversif.
Mungkin alasannya yaitu menentukan menggeleng dengan narasi-narasi kritisnya, Rocky Gerung kemudian diperiksa polisi atas tuduhan menyebut kitab suci fiksi. Saya jadi teringat kepada kepada Pierre Bourdieu intelektual Perancis, Antonie Gramsci intelektual Italia, dan Edward W Said yang menemukan momentum intelektualnya di Inggris.
Ketiganya yaitu intekektual sejati yang konsisten melaksanakan tugas atas tanggungjawab sosial terhadap pengetahuan, skill, dan kemampuan lebih yang dimilikinya dalam menghadapi beberapa problem di negerinya. Ketiganya pemikir keritis yang meninggalkan zona nyaman di kampus untuk terjun pribadi dalam geliat perlawanan terhadap praktik dominasi dan hegemoni rezim penguasa yang dianggap menindas, baik secara anutan maupun secara fisik.
Ketiganya pun balasannya ditangkap oleh rezim dan menjadikan penjara sebagai “rahim” karya besarnya.
Kalau kemudian kaum terdidik umumnya diam dan hanya bisa menggerutu tanpa berbuat apa-apa dalam menyikapi kebijakan pemimpin yang berpotensi merugikan tempat dan negara, terus pers berlomba-lomba tengkurap atas nama kapitalis, kemudian intelektualitas kembali dikungkung atas nama elektabilitas, maka itulah gejala demokrasi akan menerima serangan jantung.
Karena itu, kepada kaum intelektual bersuaralah memakai nalar sehat. Sehatkan kembali demokrasi yang sudah terkotori dengan narasi-narasi rendahan dan logical fallacy. Dari titik inilah statement Rocky Gerung memarik direnungi, alasannya yaitu mungkin ada benarnya bahwa “akal sehat yaitu satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perdebatan politik, bukan elektabilitas atau nomor rekening”.
Statement Rocky Gerung ini menjadi menarik dan penting, alasannya yaitu Yudi Latif dalam bukunya “Negara Paripurna (Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila)” menjelaskan bahwa “kesalahan menajemen kekuasaan di beberapa titik sanggup menjadikan retak-retak pondasi kebangsaan”. (Salam tenang tanpa limit)
Penulis: Ruslan Ismail Mage
Seorang Rocky Gerung menyadari benar bahwa yang paling membahayakan masa depan suatu bangsa yaitu dikala orang-orang terdidiknya larut dalam pusaran propaganda politik demi elektabilitas atas nama bonus jabatan, walau harus mengingkari nilai-nilai intelektualitasnya. Menurutnya negara ini didirikan untuk menumbuhkan intelektualitas dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun suasana pemilihan presiden yang tinggal dua bulan ini mengatakan kecenderungan intelektualitas dikepung dan dikelilingi elektabilitas. Atas nama elektabikitas, gerakan intelektualitas yang memakai narasi-narasi indah mencerdaskan terancam kembali dikungkung jika tidak senapas dengan penguasa. Kebebasan beropini kembali menerima lampu kuning dari UU ITE, mengingatkan jaman Orde Baru yang melumpuhkan gerakan intelektualitas belum dewasa bangsa dengan senjata UU Subversif.
Mungkin alasannya yaitu menentukan menggeleng dengan narasi-narasi kritisnya, Rocky Gerung kemudian diperiksa polisi atas tuduhan menyebut kitab suci fiksi. Saya jadi teringat kepada kepada Pierre Bourdieu intelektual Perancis, Antonie Gramsci intelektual Italia, dan Edward W Said yang menemukan momentum intelektualnya di Inggris.
Ketiganya yaitu intekektual sejati yang konsisten melaksanakan tugas atas tanggungjawab sosial terhadap pengetahuan, skill, dan kemampuan lebih yang dimilikinya dalam menghadapi beberapa problem di negerinya. Ketiganya pemikir keritis yang meninggalkan zona nyaman di kampus untuk terjun pribadi dalam geliat perlawanan terhadap praktik dominasi dan hegemoni rezim penguasa yang dianggap menindas, baik secara anutan maupun secara fisik.
Ketiganya pun balasannya ditangkap oleh rezim dan menjadikan penjara sebagai “rahim” karya besarnya.
Kalau kemudian kaum terdidik umumnya diam dan hanya bisa menggerutu tanpa berbuat apa-apa dalam menyikapi kebijakan pemimpin yang berpotensi merugikan tempat dan negara, terus pers berlomba-lomba tengkurap atas nama kapitalis, kemudian intelektualitas kembali dikungkung atas nama elektabilitas, maka itulah gejala demokrasi akan menerima serangan jantung.
Karena itu, kepada kaum intelektual bersuaralah memakai nalar sehat. Sehatkan kembali demokrasi yang sudah terkotori dengan narasi-narasi rendahan dan logical fallacy. Dari titik inilah statement Rocky Gerung memarik direnungi, alasannya yaitu mungkin ada benarnya bahwa “akal sehat yaitu satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perdebatan politik, bukan elektabilitas atau nomor rekening”.
Statement Rocky Gerung ini menjadi menarik dan penting, alasannya yaitu Yudi Latif dalam bukunya “Negara Paripurna (Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila)” menjelaskan bahwa “kesalahan menajemen kekuasaan di beberapa titik sanggup menjadikan retak-retak pondasi kebangsaan”. (Salam tenang tanpa limit)
Penulis: Ruslan Ismail Mage
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 Comments:
Posting Komentar