Ayo Jalan Terus ! - Ahmad Dhani resmi ditahan di LP Cipinang, Jakarta Timur semenjak Senin (28/1/2019).
Dua hari dipenjara, Ahmad Dhani banyak didekati oleh penghuni tahanan lain yang ingin berbincang dengannya.
Ahmad Dhani disebut menjadi idola di LP Cipinang.
Hal itu diungkap pengacara Ahmad Dhani, Hendarsam Marantoko.
"Iya betul (Dhani jadi idola). Ternyata malah dikerubungi sekali, malah masif orang-orang di sana (yang ingin bersahabat Dhani)," kata Hendarsam ketika dihubungi Tribunnews, Rabu (30/1/2019).
Ahmad Dhani menghuni satu sel berukuran 10 x 20 meter, yang dihuni oleh ratusan orang.
"Hampir 300 orang (tahanan)," ungkap Hendarsam.
Selain menjadi idola, Ahmad Dhani juga menerima kunjungan dari kerabat bersahabat termasuk Wakil Ketua dewan perwakilan rakyat Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah mengunjungi musisi Ahmad Dhani pada Selasa (29/1/2019).
Sejak siang hingga sore, Dhani menerima kunjungan sejumlah sahabat dari tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Secara kebetulan, keluarga besar Ahmad Dhani juga tengah melaksanakan kunjungan ketika Fahri Hamzah datang.
Mereka duduk satu meja
Ahmad Dhani disebut menjadi idola di LP Cipinang.
Hal itu diungkap pengacara Ahmad Dhani, Hendarsam Marantoko.
"Iya betul (Dhani jadi idola). Ternyata malah dikerubungi sekali, malah masif orang-orang di sana (yang ingin bersahabat Dhani)," kata Hendarsam ketika dihubungi Tribunnews, Rabu (30/1/2019).
Ahmad Dhani menghuni satu sel berukuran 10 x 20 meter, yang dihuni oleh ratusan orang.
"Hampir 300 orang (tahanan)," ungkap Hendarsam.
Selain menjadi idola, Ahmad Dhani juga menerima kunjungan dari kerabat bersahabat termasuk Wakil Ketua dewan perwakilan rakyat Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah mengunjungi musisi Ahmad Dhani pada Selasa (29/1/2019).
Sejak siang hingga sore, Dhani menerima kunjungan sejumlah sahabat dari tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Secara kebetulan, keluarga besar Ahmad Dhani juga tengah melaksanakan kunjungan ketika Fahri Hamzah datang.
Mereka duduk satu meja
dan berbincang seputar keadaan di LP Cipinang.
Selain berbincang keduanya berkeliling LP Cipinang untuk menengok keadaan rutan tersebut didampingi kepala rutan.
Ruangan yang ketika ini dihuni Ahmad Dhani diperuntukkan bagi tahanan gres yang mengikuti proses masa pengenalan lingkungan (mapenaling).
Saat Ahmad Dhani dan Fahzi Hamzah masuk ke ruang sel, sejumlah tahanan mengacungkan dua jari simbol pinjaman untuk paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi.
Fahri Hamzah kemudian menanyakan kabar dan menguatkan para tahanan.
"Apa kabar kalian, semoga baik baik saja, yang berpengaruh ya," kata Fahri kepada tahanan.
Ahmad Dhani telah divonis kurungan 1,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (28/1/2019).
Ia dinilai terbukti bersalah dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh, melakukan, dan berbagi kebencian terhadap suatu golongan.
Ujaran kebencian tersebut disebarkan anak buah Ahmad Dhani melalui akun Twitter @AHMADDHANIPRAST pada Maret 2017.
Sumber: Tribunnews
Selain berbincang keduanya berkeliling LP Cipinang untuk menengok keadaan rutan tersebut didampingi kepala rutan.
Ruangan yang ketika ini dihuni Ahmad Dhani diperuntukkan bagi tahanan gres yang mengikuti proses masa pengenalan lingkungan (mapenaling).
Saat Ahmad Dhani dan Fahzi Hamzah masuk ke ruang sel, sejumlah tahanan mengacungkan dua jari simbol pinjaman untuk paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi.
Fahri Hamzah kemudian menanyakan kabar dan menguatkan para tahanan.
"Apa kabar kalian, semoga baik baik saja, yang berpengaruh ya," kata Fahri kepada tahanan.
Ahmad Dhani telah divonis kurungan 1,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (28/1/2019).
Ia dinilai terbukti bersalah dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh, melakukan, dan berbagi kebencian terhadap suatu golongan.
Ujaran kebencian tersebut disebarkan anak buah Ahmad Dhani melalui akun Twitter @AHMADDHANIPRAST pada Maret 2017.
Sumber: Tribunnews
Ahmad Dhani, Pilpres dan Ledakan Dahsyat
Akhirnya, Ahmad Dhani divonis bersalah. Terbukti melaksanakan ujaran kebencian. Dianggap telah dengan meyakinkan melanggar pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 Undang-undang no 19 tahun 2016 perihal warta dan transaksi elektronik. Ahmad Dhani kena 1,5 tahun.
Pengadilan memerintahkan Ahmad Dhani ditahan. Dan musisi grup musik 19 ini eksklusif dibawa ke Cipinang. Saat itu juga. Kenapa tidak ke Mako Brimob? Emang sanggup milih penjara? Eh, LP (Lembaga Pemasyarakatan) maksudnya. Biar dianggap agak sedikit sopan.
Beda dengan Ahok. Meski putusan sudah inkrah, tetap dititipkan di Mako Brimob. Ini yang menciptakan tim pengacara Dhani bertanya-tanya. Keberatan! Kok beda? Ya bedalah. Bergantung siapa bersahabat siapa. Kalau oposisi, ya susah.
“Pengadilan sudah benar. On the right track. Semoga. Kok semoga? Ya, kan kita juga gak tahu apa yang terjadi di panggung belakang. Siapa tahu ada aktor-aktor hebat, tapi gak mau tampil dan kelihatan di mata publik. Senang bersembunyi dan main petak umpet. Mungkin masa kecilnya kurang berbahagia. Tetap positif thinking. Jangan curiga. Anggap saja itu putusan hakim. Murni putusan hakim. Hakim yang mana? Ah, nanya mulu. Hakim ya hakim! Kesel gue. Maksudnya, hakim di panggung depan, atau hakim yang di panggung belakang? Hakim mana kek…” begitulah kira-kira obrolan yang berkembang di masyarakat.
Tapi, siapapun yang berbuat salah, harus diputus salah. Rakyat harus menghargai putusan pengadilan. Titik! Tidakkah hakim sanggup keliru dalam putusannya? Hakim juga manusia. Sama dengan artis. Artis juga manusia. Berhak salah.
Dhani punya hak banding. Itu hak aturan yang menempel pada tervonis. Di pengadilan tinggi, Dhani sanggup mengatakan bukti-bukti gres dan saksi mahir baru. Bagaimana kisah selanjutnya? Kita tunggu. Apakah ketika sidang pengadilan tinggi nanti presidennya masih sama, atau beda. Emang ngaruh? Tanya pada rumput yang bergoyang!
Dhani gak perlu dibela. Biarlah ia menjalani proses sesuai aturan yang berlaku. Tapi, Dhani diperlakukan tidak adil! Oh ya?
Warga keturunan China pernah hina presiden, tapi kenapa bebas? Bupati Boyolali sebut Prabowo “asu”, bebas juga. Victor Laeskodat yang menuduh Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai pendukung khilafah seolah “tak secara serius” tersentuh hukum. Denny Siregar nyebarin video hoax kasus pengeroyokan anak
Beda dengan Ahok. Meski putusan sudah inkrah, tetap dititipkan di Mako Brimob. Ini yang menciptakan tim pengacara Dhani bertanya-tanya. Keberatan! Kok beda? Ya bedalah. Bergantung siapa bersahabat siapa. Kalau oposisi, ya susah.
“Pengadilan sudah benar. On the right track. Semoga. Kok semoga? Ya, kan kita juga gak tahu apa yang terjadi di panggung belakang. Siapa tahu ada aktor-aktor hebat, tapi gak mau tampil dan kelihatan di mata publik. Senang bersembunyi dan main petak umpet. Mungkin masa kecilnya kurang berbahagia. Tetap positif thinking. Jangan curiga. Anggap saja itu putusan hakim. Murni putusan hakim. Hakim yang mana? Ah, nanya mulu. Hakim ya hakim! Kesel gue. Maksudnya, hakim di panggung depan, atau hakim yang di panggung belakang? Hakim mana kek…” begitulah kira-kira obrolan yang berkembang di masyarakat.
Tapi, siapapun yang berbuat salah, harus diputus salah. Rakyat harus menghargai putusan pengadilan. Titik! Tidakkah hakim sanggup keliru dalam putusannya? Hakim juga manusia. Sama dengan artis. Artis juga manusia. Berhak salah.
Dhani punya hak banding. Itu hak aturan yang menempel pada tervonis. Di pengadilan tinggi, Dhani sanggup mengatakan bukti-bukti gres dan saksi mahir baru. Bagaimana kisah selanjutnya? Kita tunggu. Apakah ketika sidang pengadilan tinggi nanti presidennya masih sama, atau beda. Emang ngaruh? Tanya pada rumput yang bergoyang!
Dhani gak perlu dibela. Biarlah ia menjalani proses sesuai aturan yang berlaku. Tapi, Dhani diperlakukan tidak adil! Oh ya?
Warga keturunan China pernah hina presiden, tapi kenapa bebas? Bupati Boyolali sebut Prabowo “asu”, bebas juga. Victor Laeskodat yang menuduh Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai pendukung khilafah seolah “tak secara serius” tersentuh hukum. Denny Siregar nyebarin video hoax kasus pengeroyokan anak
Jakmania, aman. Abu Janda menghina bendera tauhid sebagai bendera teroris, hingga kini masih bebas bikin vlog di luar sana. Para penghina Fadli Zon, asyik-asyik aja.
Kenapa tidak dilaporkan? Heh, anda butuh laporan berapa kali lagi, biar laporan sanggup direspon dan ditanggapi? Apakah setiap laporan harus dikawal agresi 7 juta demonstran (212) biar sanggup direspon dan ditindaklanjuti?
Jangan hingga muncul image bahwa laporan itu sah jikalau pertama, laporan itu berasal dari pihak pendukung incumbent. Kedua, atau laporan itu disertai demo 212. Syarat pesertanya minimal harus 7 juta. Kan gak lucu. Bener gak?
Dalam kasus Ahmad Dhani, rakyat gak perlu membela. Yang perlu dibela yaitu Indonesia. Negara ini yang harus dibela dari ketumpulan dan ketidakadilan hukum.
Hukum itu pilar demokrasi. Hukum itu pondasi untuk membangun stabilitas politik, juga ekonomi. Karenanya, butuh kepastian dan keadilan.
Jika aturan tak tegak, ini akan jadi api dalam sekam. Menjadi investasi kemarahan rakyat. Akumulasinya pada ukuran tertentu sanggup meledak. Kemarahan ini nyata. Apa indikatornya?
Lahirnya tagar #2019GantiPresiden yang disambut meriah dimana-mana, adanya istilah ABJ (Asal Bukan Jokowi), maraknya salam dua jari, munculnya orang-orang ibarat Rocky Gerung dan Rizal Ramli yang makin tajam kritiknya, berlanjutnya agresi 212 dalam reuni dan Ijtima’ ulama, pinjaman komunitas akademi tinggi (kampus) terhadap calon alternatif. Dan yang terakhir, terus tergerusnya elektabilitas incumbent. Indikatornya nyata.
Dua bentuk perlakuan yang berbeda terhadap banyak sekali fakta aturan ini akan menguji nalar dan nurani rakyat, terutama dalam pilihan di pilpres nanti. Mana yang berakal sehat, dan mana yang tak lagi punya nurani.
Itu semua politis! Ya, iyalah. Menghadapi politisi, yang paling cocok yaitu gerakan dan mekanisme politik. Ini yang paling tepat. Politik moral melawan pragmatisme kekuasaan. Di sepanjang sejarah, referensi dan mekanisme politik semacam ini paling konstitusional dan tak berisiko. Coba kalau gerakan moral itu tidak disalurkan melalui jalur politik? Malah akan jadi demokrasi jalanan yang berpotensi menjadi revolusi. Dan itu tidak dikehendaki bersama. Risiko sosial dan politiknya terlalu besar. Jangan hingga terjadi!
Kemarahan rakyat tampaknya akan diledakkan dalam pilpres 17 April nanti. Ini yang bener. Dengan catatan, pilpresnya juga benar. Jika pilpres gak bener juga, ledakan kemarahan itu dikhawatirkan akan berubah bentuk jadi people power. Ini bahaya.
Kasus Dhani, juga Buni Yani dan Novel Baswedan, yang diperlakukan berbeda dengan banyak kasus dari para pendukung incumbent menambah investasi kemarahan rakyat yang semakin membesar. Secara politik, ini ibarat gelombang tsunami yang akan jadi ancaman faktual dan serius terhadap nasib bunyi Jokowi di 17 April 2019. Disinilah ledakan dahsyat itu sanggup terjadi.
Jakarta, 30/1/2019
Penulis: Tony Rosyid
Kenapa tidak dilaporkan? Heh, anda butuh laporan berapa kali lagi, biar laporan sanggup direspon dan ditanggapi? Apakah setiap laporan harus dikawal agresi 7 juta demonstran (212) biar sanggup direspon dan ditindaklanjuti?
Jangan hingga muncul image bahwa laporan itu sah jikalau pertama, laporan itu berasal dari pihak pendukung incumbent. Kedua, atau laporan itu disertai demo 212. Syarat pesertanya minimal harus 7 juta. Kan gak lucu. Bener gak?
Dalam kasus Ahmad Dhani, rakyat gak perlu membela. Yang perlu dibela yaitu Indonesia. Negara ini yang harus dibela dari ketumpulan dan ketidakadilan hukum.
Hukum itu pilar demokrasi. Hukum itu pondasi untuk membangun stabilitas politik, juga ekonomi. Karenanya, butuh kepastian dan keadilan.
Jika aturan tak tegak, ini akan jadi api dalam sekam. Menjadi investasi kemarahan rakyat. Akumulasinya pada ukuran tertentu sanggup meledak. Kemarahan ini nyata. Apa indikatornya?
Lahirnya tagar #2019GantiPresiden yang disambut meriah dimana-mana, adanya istilah ABJ (Asal Bukan Jokowi), maraknya salam dua jari, munculnya orang-orang ibarat Rocky Gerung dan Rizal Ramli yang makin tajam kritiknya, berlanjutnya agresi 212 dalam reuni dan Ijtima’ ulama, pinjaman komunitas akademi tinggi (kampus) terhadap calon alternatif. Dan yang terakhir, terus tergerusnya elektabilitas incumbent. Indikatornya nyata.
Dua bentuk perlakuan yang berbeda terhadap banyak sekali fakta aturan ini akan menguji nalar dan nurani rakyat, terutama dalam pilihan di pilpres nanti. Mana yang berakal sehat, dan mana yang tak lagi punya nurani.
Itu semua politis! Ya, iyalah. Menghadapi politisi, yang paling cocok yaitu gerakan dan mekanisme politik. Ini yang paling tepat. Politik moral melawan pragmatisme kekuasaan. Di sepanjang sejarah, referensi dan mekanisme politik semacam ini paling konstitusional dan tak berisiko. Coba kalau gerakan moral itu tidak disalurkan melalui jalur politik? Malah akan jadi demokrasi jalanan yang berpotensi menjadi revolusi. Dan itu tidak dikehendaki bersama. Risiko sosial dan politiknya terlalu besar. Jangan hingga terjadi!
Kemarahan rakyat tampaknya akan diledakkan dalam pilpres 17 April nanti. Ini yang bener. Dengan catatan, pilpresnya juga benar. Jika pilpres gak bener juga, ledakan kemarahan itu dikhawatirkan akan berubah bentuk jadi people power. Ini bahaya.
Kasus Dhani, juga Buni Yani dan Novel Baswedan, yang diperlakukan berbeda dengan banyak kasus dari para pendukung incumbent menambah investasi kemarahan rakyat yang semakin membesar. Secara politik, ini ibarat gelombang tsunami yang akan jadi ancaman faktual dan serius terhadap nasib bunyi Jokowi di 17 April 2019. Disinilah ledakan dahsyat itu sanggup terjadi.
Jakarta, 30/1/2019
Penulis: Tony Rosyid
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui warta menarik lainnya @Tahukah.Anda.News
0 Comments:
Posting Komentar